Semua orang Muslim tentunya tahu yang namanya shalat. Ya, walaupun mungkin sebagian masih ada yang menjalankannya dengan bolong-bolong atau tidak sama sekali karena satu dan lain hal. Kemudahan melaksanakan ibadah yang satu ini bagi sebagian orang dianggap biasa-biasa saja, terutama mereka yang tinggal di negara mayoritas Muslim. Negara kita contohnya. Secara umum, muslim di Indonesia bisa mempraktikkan shalat dimana pun mereka berada, karena hampir di setiap sudut kampung atau kota selalu ada mesjid. Paling tidak tajug atau mushala. Gaungan adzan pun bisa terdengar kemana-mana. Sebuah ‘kemewahan’ yang tidak bisa dinikmati di negara seperti Amerika.
Saya merasakan betul hilangnya nikmat ini ketika pertama kali datang ke negerinya Obama. Bahkan, hilangnya nikmat ini mulai terasa ketika naik pesawat dari Narita (Jepang) menuju Chicago (Amerika). Karena sebagian orang barat masih traumatik dengan peristiwa 9/11, biasanya mereka merasa tak nyaman melihat orang membaca Al-qur’an atau shalat di pesawat. Apalagi kalau orang tersebut berwajah timur tengah. Sudah pastilah dia akan ‘ditendang’ keluar, tanpa ampun. Saya untungnya duduk bersebelahan dengan orang Asia. Pikir saya, kayanya dia bisa paham. Tapi ketakutan masih menghantui, karena di samping kiri ada orang asing. Alhasil, saya harus menunggu mereka tidur sebelum bisa melaksanakan shalat dengan tenang. Tentu saja, dengan TV kecil di hadapan saya yang sengaja masih menyala, agar orang menyangka saya sedang menonton. Lega rasanya ketika shalat selesai.
Permasalahan mulai kompleks ketika harus menunggu beberapa jam di bandara Chicago untuk melanjutkan penerbangan ke kota yang saya tuju. Waktu itu, sudah tiba saatnya melakukan shalat dzuhur. Dengan alasan musafir, saya bisa meringkas dan menyatukan shalat. Itu hal mudah. Tapi dimana shalatnya? Saya coba mundar-mandir dari satu terminal ke terminal lain dengan harapan bisa menemukan tempat yang lumayan sepi. Namun, namanya juga bandara internasional, mana ada tempat sepi tanpa orang. Saya pun jadi pening. Akhirnya, saya berusaha ‘nekad’ untuk shalat di kursi tunggu. Tinggal cari yang agak sepi. Ketemu juga, akhirnya. Saya duduk di kursi paling pojok yang kebetulan menghadap ke luar bandara. Shalat pun tertunaikan.
Masalah shalat ini ternyata tak kunjung usai ketika sudah tinggal beberapa hari di kota tujuan. Setelah beberapa hari istirahat karena jetlag, saya ke kampus untuk menyelesaikan urusan administrasi. Karena ternyata urusannya panjang, saya harus shalat di kampus. Sialnya, gedung kampus tempat mengurus administrasi itu berada di dalam mall. Sudah pasti banyak orang berkeliaran. Saya pun bulak-balik dari ujung utara mall ke ujung selatan untuk mencari tempat relatif sunyi. Akhirnya, ketemu juga tempat duduk dekat WC yang lokasinya agak terpisah dari keramaian. Saya simpan koran di pangkuan, agar orang yang kebetulan lewat menyangka saya sedang membaca. Shalat pun selesai.
Satu hari, di luar dugaan bus dari kampus yang saya tunggu tak kunjung datang, padahal waktu itu saya belum shalat Asar. Dan, matahari sudah terlihat mau terbenam. Saya bergumam, “kenapa tidak di-jama saja tadi shalatnya ketika di rumah?” Seandainya bus datang tepat waktunya, saya bisa shalat dalam bus, karena relatif mudah. Tinggal duduk di pojok belakang. Urusan shalat bisa selesai. Daripada menyesali, saya pikir, lebih baik mencari solusi. Untungnya, bus stop sepi waktu itu. Saya pun memaksakan diri shalat sambil duduk, walaupun hati terus berdo’a agar tidak ada orang yang datang. Alhamdulillah, shalat selesai.
Lama-kelamaan, rasa rindu untuk shalat berdiri mulai memuncak. Rasanya tidak afdhal kalau saya harus shalat duduk terus di kampus. Keberanian dalam diri saya pun mulai terbangun. Banyak orang bilang, kota Iowa ini kota liberal. Mereka sangat toleran dan terbuka dengan perbedaan. Saya mulai memberanikan diri mengantongi sejadah ke kampus. Ketika berada di gedung kampus yang di mall itu, dan sudah saatnya melaksanakan shalat, saya mencari tahu arah kiblat dengan mempelajari peta kampus. Setelah itu, saya mencoba mencari lokasi yang relatif sepi. Setelah mundar-mandir beberapa saat, ditemukan juga sebuah pojok di belahan utara mall yang menghadap ke jalan. Saya pun menggelar sajadah dan melakukan shalat dengan tenang. Pada raka’at ketiga, terlihat sosok orang berseragam mendekat. Ternyata, dia adalah polisi mall. Buyarlah konsentrasi shalat saya, karena saya khawatir ditangkap. Mungkin dia pikir saya orang homeless, tak punya rumah, yang mau tidur di mall. Saya pun mempercepat shalat saya dan melipat sejadah. Polisi tadi hanya melihat dan memperhatikan. Tanpa basa-basi, saya langsung pergi sembari sesekali melihat ke belakang, untuk memastikan si polisi tidak mengikuti. Tidak terjadi apa-apa, ternyata, Alhamdulillah.
Setelah berbagi pengalaman unik yang sedikit menegangkan dengan teman Indonesia yang sudah lama di sini, dia menasihati agar saya shalat di perpus kampus saja, biar bisa lebih tenang dan khusyu. Apalagi kan yang namanya perpus, mana ada orang ribut. Akhirnya, ketika di kampus, saya masuk ke ruang buku. Sepi memang. Dan, banyak lokasi yang bisa dijadikan tempat shalat. Setelah menemukan arah kiblat, saya mencari tempat paling pojok, yang sekiranya tidak akan banyak orang yang lalu lalang mencari buku. Di pojok timur ruangan, di samping rak, saya menggelar sejadah. Saya pikir, setelah penantian yang cukup lama, akhirnya ditemukan juga tempat shalat yang kondusif. Saya pun memulai shalat saya. Ternyata, pada raka’at ketiga, ada orang bule mendekat dan mau lewat. Dia bilang, “Excuse me! excuse me!” beberapa kali. Saya jadi kikuk dibuatnya, karena tidak mungkin saya menjawab. Saya terus melanjutkan shalat walaupun hati saya deg-degan. Akhirnya, dia pergi juga. Lega akhirnya.
Mungkin Allah kasihan melihat salah satu hambanya begitu kesulitan dan kebingungan mencari tempat untuk sekedar melepas rindu pada-Nya. Pertolongan-Nya pun datang dengan diberikannya sebuah kantor oleh jurusan kepada saya. Sekalipun sekantor dengan dua orang asing, saya jelaskan bahwa saya akan melakukan sembahyang secara rutin. Alhamdulillah, mereka sangat paham. Bahkan sebelum shalat, mereka lah yang menutupkan pintu kantor untuk saya. Kadang ketika shalat dan ada mahasiswa yang ingin menemui saya, mereka jelaskan bahwa saya sedang shalat dan meminta mahasiswa tersebut untuk kembali lagi nanti. Nikmat rasanya bisa menemukan tempat ‘khusus’ untuk shalat di kampus. Lebih nikmat lagi sebenarnya adalah adanya wujud toleransi dari teman sekantor sekalipun mereka berbeda keyakinan.
Makanya, bagi mereka di tanah air, yang bisa melaksanakan shalat dimana-mana, bersyukurlah. Itulah salah satu nikmat Allah yang akan sangat sulit didapati di belahan bumi lain.
Saya merasakan betul hilangnya nikmat ini ketika pertama kali datang ke negerinya Obama. Bahkan, hilangnya nikmat ini mulai terasa ketika naik pesawat dari Narita (Jepang) menuju Chicago (Amerika). Karena sebagian orang barat masih traumatik dengan peristiwa 9/11, biasanya mereka merasa tak nyaman melihat orang membaca Al-qur’an atau shalat di pesawat. Apalagi kalau orang tersebut berwajah timur tengah. Sudah pastilah dia akan ‘ditendang’ keluar, tanpa ampun. Saya untungnya duduk bersebelahan dengan orang Asia. Pikir saya, kayanya dia bisa paham. Tapi ketakutan masih menghantui, karena di samping kiri ada orang asing. Alhasil, saya harus menunggu mereka tidur sebelum bisa melaksanakan shalat dengan tenang. Tentu saja, dengan TV kecil di hadapan saya yang sengaja masih menyala, agar orang menyangka saya sedang menonton. Lega rasanya ketika shalat selesai.
Permasalahan mulai kompleks ketika harus menunggu beberapa jam di bandara Chicago untuk melanjutkan penerbangan ke kota yang saya tuju. Waktu itu, sudah tiba saatnya melakukan shalat dzuhur. Dengan alasan musafir, saya bisa meringkas dan menyatukan shalat. Itu hal mudah. Tapi dimana shalatnya? Saya coba mundar-mandir dari satu terminal ke terminal lain dengan harapan bisa menemukan tempat yang lumayan sepi. Namun, namanya juga bandara internasional, mana ada tempat sepi tanpa orang. Saya pun jadi pening. Akhirnya, saya berusaha ‘nekad’ untuk shalat di kursi tunggu. Tinggal cari yang agak sepi. Ketemu juga, akhirnya. Saya duduk di kursi paling pojok yang kebetulan menghadap ke luar bandara. Shalat pun tertunaikan.
Masalah shalat ini ternyata tak kunjung usai ketika sudah tinggal beberapa hari di kota tujuan. Setelah beberapa hari istirahat karena jetlag, saya ke kampus untuk menyelesaikan urusan administrasi. Karena ternyata urusannya panjang, saya harus shalat di kampus. Sialnya, gedung kampus tempat mengurus administrasi itu berada di dalam mall. Sudah pasti banyak orang berkeliaran. Saya pun bulak-balik dari ujung utara mall ke ujung selatan untuk mencari tempat relatif sunyi. Akhirnya, ketemu juga tempat duduk dekat WC yang lokasinya agak terpisah dari keramaian. Saya simpan koran di pangkuan, agar orang yang kebetulan lewat menyangka saya sedang membaca. Shalat pun selesai.
Satu hari, di luar dugaan bus dari kampus yang saya tunggu tak kunjung datang, padahal waktu itu saya belum shalat Asar. Dan, matahari sudah terlihat mau terbenam. Saya bergumam, “kenapa tidak di-jama saja tadi shalatnya ketika di rumah?” Seandainya bus datang tepat waktunya, saya bisa shalat dalam bus, karena relatif mudah. Tinggal duduk di pojok belakang. Urusan shalat bisa selesai. Daripada menyesali, saya pikir, lebih baik mencari solusi. Untungnya, bus stop sepi waktu itu. Saya pun memaksakan diri shalat sambil duduk, walaupun hati terus berdo’a agar tidak ada orang yang datang. Alhamdulillah, shalat selesai.
Lama-kelamaan, rasa rindu untuk shalat berdiri mulai memuncak. Rasanya tidak afdhal kalau saya harus shalat duduk terus di kampus. Keberanian dalam diri saya pun mulai terbangun. Banyak orang bilang, kota Iowa ini kota liberal. Mereka sangat toleran dan terbuka dengan perbedaan. Saya mulai memberanikan diri mengantongi sejadah ke kampus. Ketika berada di gedung kampus yang di mall itu, dan sudah saatnya melaksanakan shalat, saya mencari tahu arah kiblat dengan mempelajari peta kampus. Setelah itu, saya mencoba mencari lokasi yang relatif sepi. Setelah mundar-mandir beberapa saat, ditemukan juga sebuah pojok di belahan utara mall yang menghadap ke jalan. Saya pun menggelar sajadah dan melakukan shalat dengan tenang. Pada raka’at ketiga, terlihat sosok orang berseragam mendekat. Ternyata, dia adalah polisi mall. Buyarlah konsentrasi shalat saya, karena saya khawatir ditangkap. Mungkin dia pikir saya orang homeless, tak punya rumah, yang mau tidur di mall. Saya pun mempercepat shalat saya dan melipat sejadah. Polisi tadi hanya melihat dan memperhatikan. Tanpa basa-basi, saya langsung pergi sembari sesekali melihat ke belakang, untuk memastikan si polisi tidak mengikuti. Tidak terjadi apa-apa, ternyata, Alhamdulillah.
Setelah berbagi pengalaman unik yang sedikit menegangkan dengan teman Indonesia yang sudah lama di sini, dia menasihati agar saya shalat di perpus kampus saja, biar bisa lebih tenang dan khusyu. Apalagi kan yang namanya perpus, mana ada orang ribut. Akhirnya, ketika di kampus, saya masuk ke ruang buku. Sepi memang. Dan, banyak lokasi yang bisa dijadikan tempat shalat. Setelah menemukan arah kiblat, saya mencari tempat paling pojok, yang sekiranya tidak akan banyak orang yang lalu lalang mencari buku. Di pojok timur ruangan, di samping rak, saya menggelar sejadah. Saya pikir, setelah penantian yang cukup lama, akhirnya ditemukan juga tempat shalat yang kondusif. Saya pun memulai shalat saya. Ternyata, pada raka’at ketiga, ada orang bule mendekat dan mau lewat. Dia bilang, “Excuse me! excuse me!” beberapa kali. Saya jadi kikuk dibuatnya, karena tidak mungkin saya menjawab. Saya terus melanjutkan shalat walaupun hati saya deg-degan. Akhirnya, dia pergi juga. Lega akhirnya.
Mungkin Allah kasihan melihat salah satu hambanya begitu kesulitan dan kebingungan mencari tempat untuk sekedar melepas rindu pada-Nya. Pertolongan-Nya pun datang dengan diberikannya sebuah kantor oleh jurusan kepada saya. Sekalipun sekantor dengan dua orang asing, saya jelaskan bahwa saya akan melakukan sembahyang secara rutin. Alhamdulillah, mereka sangat paham. Bahkan sebelum shalat, mereka lah yang menutupkan pintu kantor untuk saya. Kadang ketika shalat dan ada mahasiswa yang ingin menemui saya, mereka jelaskan bahwa saya sedang shalat dan meminta mahasiswa tersebut untuk kembali lagi nanti. Nikmat rasanya bisa menemukan tempat ‘khusus’ untuk shalat di kampus. Lebih nikmat lagi sebenarnya adalah adanya wujud toleransi dari teman sekantor sekalipun mereka berbeda keyakinan.
Makanya, bagi mereka di tanah air, yang bisa melaksanakan shalat dimana-mana, bersyukurlah. Itulah salah satu nikmat Allah yang akan sangat sulit didapati di belahan bumi lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar